Jumat, 29 Agustus 2014

Berdiri Kembali



Malam ini hujan dan aku sedang merasakan sebuah kerinduan yang teramat dalam. Merindukan seseorang yang tidak pernah menginginkanku dan merindukan seseorang yang sudah dimiliki oleh orang lain, kedengaran menyedihkan? aku menganggapnya sebuah kebodohan malah.

Tidak, aku tidak membenci hujan, malah kalau boleh jujur aku sangat sekali suka dengan hujan asal tidak disertakan dengan petir yang menyambar dan menimbulkan genangan air saja di depan rumah, karna kalau itu terjadi sudah dapat dipastikan aku bakal kerja bakti seharian untuk membersihkan rumah yang tergenang banjir.

Kalau diperhatikan baik-baik, semenjak pindah ke rumah baru ini sebetulnya aku masih belum benar-benar pindah. Masih banyak sisa-sia kenangan yang aku bawa ke sini dan seperti bisa dipastikan, beginilah akibatnya kalau aku belum siap.

Sama halnya ketika memutuskan untuk berpindah dari satu hati ke hati yang lain, tidak harus menemukan hati yang baru terlebih dahulu agar dapat melupakan hati yang lama, karna itu sama saja dengan menjadikan hati yang baru sebagai sebuah pelampiasan semata kalau memang hatinya sendiri belum bisa melupakan hati yang lama. Maka itu berhati-hatilah.

Semua manusia pasti mengalami yang namanya perpindahan, bahkan nabi pun melakukannya, yang kita sebut dengan hijrah. Setiap perpindahan pasti setidaknya harus bisa mencari atau paling tidak menjadikan tempat yang baru lebih baik dari tempat sebelumnya kalau justru malah sebaliknya atau memang tidak bisa menjadikan tempat yang baru sebagai tempat yang lebih baik, buat apa harus pindah?

Teori di atas nampaknya hanya akan menjadi teori kehidupan. Bahkan akupun benci menulisnya.

Saat aku terpuruk ketika ditinggalkan dirimu, aku bertekad membalasnya, egoku sebagai seorang lelaki bicara tidak seharusnya aku dilecehkan oleh perempuan macam kau. Tapi nyatanya apa? Lagi-lagi aku benci menulis ini.

Bukannya malah bangkit dan melupakan aku malah semakin terpuruk dalam keadaan, entahlah akupun tidak pernah menginginkannya. Sungguh.

Aku pernah berkali-kali menyelipkan namamu dalam do’aku, sama seperti yang sering kulakukan dulu saat masih bersamamu hanya saja subjeknya kali ini berbeda. Kalau dulu, aku mendoakan agar kamu bisa menjadi jodohku, mendoakan supaya memang benar kamulah tulang rusukku yang selama ini aku cari dan kuminta disetiap do’aku. Tapi, kalau saat ini do’aku hanya satu, aku berdo’a agar aku benar-benar bisa melupakan dan menghilangkan kamu dari pikiranku.

Kupikir Tuhan sedang tertawa bersama malaikat-Nya mendengar do’aku.

**

Ada satu hal yang membuatku berpikir keras.

Kenapa manusia berjanji kalau tidak bisa menepati?

Atau kenapa manusia memberikan harapan kalau memang tidak bisa memberikan kejelasan?

Berjanji dan memberikan harapan kepada orang lain tentu bukanlah hal yang dilarang bahkan mungkin banyak manusia-manusia “murtad” di luar sana yang banyak mengumbar janji dan pengharapan tanpa bisa menepati dan memberikan kejelasan.

Tapi tentu saja harus memikirkan bagaimana konsekuensi dan resiko dari orang yang telah diberikan janji dan pengharapan tersebut.

Kalau memang tidak punya niat untuk bersama, sudahi di awal jangan buat orang berharap banyak denganmu lewat janji-janji dan harapan yang terdengar manis padahal bullsyit itu. Jangan buat orang berpikir terus menerus tentangmu lewat “racun” yang berusaha kau campur-adukkan dengan madu melalui kata-katamu itu.

**

Malam ini aku merindukanmu melalui hujan, sama seperti dulu. Hanya saja bedanya, kalau dulu kita saling merindukan, tapi kini, aku hanya merindu sendiri. Sedih? Sudah kubilang sejak awal ini tidak menyedihkan tapi bodoh.


Pergilah dengan kekasih yang kau pilih
Di sini ku berdo’a untuk kebahagian-mu.
Perih-ku akan kusimpan sendiri
Walau ku terjatuh, aku kan berdiri kembali.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar